BREAKING NEWS

Selasa, 11 Mei 2021

Bermanis muka berpaling hati ( Mengarungi esoteris Ramadhan )


 
OST: "Ramadhan tiba" (opick) 
#Bukber mbekk konco 3x 
Nang grub ngejak'i buko Gayae wis yak yak'o 
Sampek eker golek dino 
Ujung ujunge gak sido ... 
#Kalau marjan sudah diiklankan 
Tanda romadhon sudah datang 
Kalau sahur sering kesiangan 
Tandanya kamu masih sendirian ... 

Tak terasa Ramadhan hampir diujung perjalanannya. Seakan-akan baru saja kemarin Cuplikan parodi lagu yang dimiliki oleh akun bernama @Galuhorlando tersebut Sempat viral nan jamak bersliweran di jagat digital native dengan lirik lagunya yang tidak sedikit dianggap telah mewakili realita di kehidupan youngsters jomblo tersesat mutaakhir, bahkan tidak sedikit yang resah karena merasa tercubit oleh bait terakhirnya. Hemat penulis, Setidaknya ada dua realitas sosial yang terkandung dalam bait tersebut telah mendarah daging di lingkungan kita yakni hiruk pikuk momen buka bersama & juga iklan musiman yang seakan menjadi icon alarm Ramadhan sejenis mirip coming soon. 

Kemeriahan dan euforia dalam berbagai aspek kehidupan menjadi langganan ajeg setiap Ramadhan. Mulai hiruk pikuk bukber dengan rekan-rekannya dari paud hingga rekan goib-nya, tarawih di masjid sampai di mall, ngabuburid sampai lupa arah masjid, i’tikaf di masjid semalam suntuk, berbagi ta’jil dan sahur on the road, Thowaf diskon rutin akhir ramadan di pasar dsb. Begitulah kiranya sedikit fenomena keberagamaan moment puasa tergambar di lingkungan sekitar kita. 

Terlepas dari semua euforia diatas dan juga posting-an bernada senang dengan quote dari Alquran/hadis ditambah puisi "marhaban ya ramadhan" yang berseliweran disaat raja sirup bernama marjan mulai diiklankan dan juga posting-an bernada sedih diakhir Ramadhan yang tayang saat detik detik proklamasi kemenangan hari raya melalui final sidang isbat dengan quote "Ketika tangan tak mampu berjabat, Ketika mulut tak dapat mengucap, Ketika kaki tak mampu melangkah membanjiri dinding story", Ramadhan seakan terasa seperti kekasih yang kita gombali ketika dekat, lalu kita lupakan begitu saja tak lama setelah terpisah. Sering kali Kita move on kepada Syawal dan mengubah kembali orientasi perhitungan kalender kita ke Masehi. 

Kita menge-set kembali diri dan akhlak kita ke pengaturan awal, menanggalkan sejumlah titipan, kenangan, dan jejak yang coba diinternalisasi oleh lelaku puasa selama Ramadhan. Memang kita menyambut Ramadhan dengan suka cita, memperlakukan kehadirannya seperti kita menyambut suatu festival maha agung, melebihi pesta raya yang di hujani doa samawa, sehingga keistimewaannya tidak hanya harus disyukuri melalui kesetiaan tadarus, iktikaf dan tarawih di Masjid, tetapi juga sa'i di pasar berburu daging dan sayuran hingga takjil demi sahur dan buka puasa yang istimewa. 

Tapi toh perlakuan spesial itu sepertinya bersifat seremonial semata. Nilai-nilai yang dibawa serta oleh Ramadhan dan ditawarkan (dijejalkan) melalui puasa, kita tinggalkan seiring semakin dekatnya puncak gunung perjuangan. Itu sebabnya barangkali Nabi Muhammad menyebut banyak yang puasa sekadar dapat lapar dan dahaga. Misi dasar dan tujuan puasa sendiri cenderung tergerus euforia pesta raya, dilupakan di latar belakang, tidak tertengok dan tidak tertindaklanjuti di masa mendatang. Walhasil, sulit bagi kita menumbuhkan kerinduan yang tulus kepada Ramadhan karena di awal Ramadhan saja kita sudah bermanis muka tetapi berpaling hati. 

Ramadhan sejatinya adalah medium, suatu latihan ketat semacam diklatsar, yang bertujuan "la'allakum tattakum" mencetak dan membangun fondasi takwa. Karena ia membangun fondasi takwa, maka Ramadhan harus ditindaklanjuti dengan resolusi untuk mengejawantahkan ketakwaan dalam tingkah laku kita sehari-hari pasca Ramadhan. Artinya, ibadah kita --baik yang mahdah maupun ghairu mahdah- idealnya bisa meningkat pasca Ramadhan, dan bukan justru stagnan apalagi berkurang. Setidaknya kalau tidak bisa meningkat paling tidak kita bisa menahan atau mengurangi intensitas kita dalam berbelanja dosa. 

Mungkin tak berlebihan kiranya, jika semakin lama puasa lebih banyak dipahami sebagai bentuk ibadah secara eksoteris (lahiriah) dibanding esoteris (batiniyah). Menahan lapar dan dahaga merupakan bentuk “kesengsaraan” fisik yang seringkali teraktualisasi dalam sebuah aktivitas puasa. Kabar lucunya, ramadhan mutaakhir ini banyak bermunculan fenomena yang lagi di gandrungi banyak youngsters. Apa itu ? berlomba-lomba saling kirim & memposting makanan & beraneka minuman dari mulai Es-segar sampai Es-seman di siang bolong yang notabennya mungkin bisa meng-iler-kan penontonnya. Motifnya pun variatif, Ada yang hanya iseng, menguji keimanan teman sampai bahkan konon kata salah satu Srikandi Pelajar kediri sebut saja "Dwi" penganut madzhab ini pernah mengatakan "lek nyawang panganan utowo vidio mukbang ngunu kui rasane wes koyok melu mangan, dadi kayak auto warek dewe iso ngilak'i luwe". Apa mungkin semacam pengalihan perhatian dari adanya pergerakan lambung atau lapar mata? Entahlah, kalau pakai nalar sehat menonton makan-makan sepertinya justru malah bikin tambah berat bukan puasanya! Kalau tidak berlebihan kayak semacam nyiksa diri sendiri. Kabar baiknya, silakan anda bisa mencoba menyikapi sendiri-sendiri. 

Dalam konteks historis, Nabi Muhammad saw sepanjang hidupnya mungkin hanya sembilan atau sepuluh kali bertemu Ramadhan, karena kewajiban berpuasa pada waktu itu diperintahkan oleh Tuhan ketika Nabi Muhammad saw di Madinah dan Nabi tinggal di Madinah kurang lebih 12 tahun. Sebelum Ramadhan ditetapkan sebagai bulan diwajibkan berpuasa kepada umat Islam, sudah ada puasa-puasa yang dipraktekkan sebelumnya dengan mengacu kepada ajaran umat-umat terdahulu, ada yang berpuasa setiap bulan 3 hari, ada yang berpuasa di bulan-bulan khusus, seperti Assyura’ atau praktek-praktek berpuasa yang dilakukan di waktu-waktu tertentu. Praktek puasa ternyata bukanlah hal baru yang diperintahkan Tuhan kepada umat manusia, tetapi di seluruh sejarah umat manusia sudah ada praktek berpuasa bahkan sudah terlebih dahulu dilakukan jauh sebelum Islam datang, jauh sebelum diwajibkannya puasa Ramadhan. Puasa dengan demikian sudah menyatu menjadi bagian dalam budaya serta kebiasaan yang dilakukan manusia berabad-abad lamanya. 

Ketika melihat kepada pelaksanaan dan pemaknaan puasa oleh setiap generasi, memang terdapat banyak pergeseran dan perbedaan antara puasanya generasi terdahulu dan generasi sekarang. Berpuasanya orang dulu tidak hanya dipraktekkan sebatas tataran “kulit” tetapi sudah merambah kedalam wilayah “isi” sehingga puasa lebih bernuansa “esoteris” bahwa lapar dan haus hanyalah sekedar sarana dalam rangka menuju pembentukan pribadi yang lebih bersih dan sempurna. Bahkan, kegiatan sahur dan berbuka tidaklah menjadi persoalan yang penting bagi mereka. Namun kabar buruknya, terkadang tanpa disadari kita lebih sering mengkambing hitamkan zaman dengan dalih anggapan bahwa "sekarang bukanlah keadaan yang sepadan untuk di komparasikan dengan orang-orang terdahulu" sehingga berimplikasi pada kondisi ghiroh batiniyah berpuasa kita yang semakin rendah karena termakan oleh trend terkini. 

Bagi yang mempraktekkan puasa secara esoteris, maka efek dan dampak puasa pasca Ramadhan akan terasa menjadi semacam dorongan setiap pribadi untuk lebih peka terhadap penyelesaian persoalan-persoalan sosial yang timbul dalam masyarakat. Kepekaan sosial adalah tujuan utama yang dibentuk melalui pelaksanaan puasa. Esoterisme Ramadhan mendorong berpuasa tidak hanya secara fisik sebagaimana fenomena kekinian sehingga semakin banyak melahirkan generasi-generasi yang justru cenderung hedonis, tetapi juga berpuasa secara mental-spiritual. 

Melihat pada entitas puasa sebagai bentuk spiritual yang langsung dinilai dan hanya untuk Tuhan (as-shaumu lii wal ajzi bihi), maka dimensi batiniyah puasa semestinya lebih kuat, karena Tuhan tak mungkin dipahami dalam dunia fisik-lahiriah, tetapi kehadiran-Nya hanya dapat dirasakan melalui ruang-ruang batin berdimensi metafisik. Sehingga dengan demikian puassa sesungguhnya jalan menyingkap ruang batin untuk menggapai nilai-nilai ilahiah, melalui peneladanan kesengsaraan fisik. 

Bukan suatu kebetulan, ketika Nabi Muhammad menyebut terdapat dua sisi kebahagiaan yang melekat pada setiap hamba yang berpuasa, yaitu kebahagiaan di saat berbuka dan ketika mereka bertemu dengan Tuhan-nya. Berbuka setelah menahan lapar dan dahaga, tentu saja kebahagiaan yang dapat diukur secara fisik, namun jauh dari itu, kebahagiaan yang lebih tinggi dan abadi tentu saja ketika bertemu dengan Rabb-nya. 

Kalimat “liqai rabbihi” bertemu dengan Tuhannya, yang disebut kebahagiaan terakhir bagi orang yang berpuasa, bukanlah dalam konteks ke-disana-an (nanti di akhirat), tetapi justru “menemukan” Tuhan yang hanya mampu dilakukan ketika seseorang menjalani puasa secara kaffah. 

Secara hakiki, manusia sudah sejak azali-nya terikat dalam perjanjian primordialisme (bersifat privat) dengan Tuhan, sehingga kecenderungan untuk tunduk, patuh, dan berbakti kepada Tuhan-nya adalah ciri dari sifat yang melekat dalam diri kemanusiaannya. 

Tuhan tidak pernah menghendaki kesusahan atau kesulitan dalam kehidupan manusia, tapi manusia sendiri terkadang yang membuat sesuatu menjadi rumit dan sulit. Puasa yang seharusnya mudah, tapi dirasakan berat, bahkan sulit bagi sebagian orang. Puasa yang bermaksud mendidik manusia melalui pembatasan terhadap nafsu dan mendidik agar manusia lebih peka terhadap kekurangan-kekurangan yang ada dalam lingkungan masyarakat, justru dijadikan ajang menunaikan gengsi. 

Dari sekian coretan diatas, sejatinya ada ketakwaan "macam" apa saja sih yang digagas dan diinternalisasi oleh puasa Ramadhan ini. 

Pertama, latihan menahan diri (puasa). Menahan diri ini penting dalam konteks kehidupan berdemokrasi demi terwujudnya kemaslahatan dan keadilan sosial. Menahan diri terhadap apa? Setidak-tidaknya dalam hal makan dan minum. Puasa melatih kita untuk kuluu wasyrabuu wala tusrifu (makan dan minum secukupnya). Menyesuaikan selera dan nafsu dengan kapasitas perut sehingga tidak menumpuk sampah makanan yang hari ini masih jadi persoalan besar umat manusia. 

Sayangnya, bahkan sepanjang Ramadhan saja nafsu makan kita tetap kalap. Makanan yang terbuang karena kita lapar mata saat berburu takjil atau saat bikin makanan untuk sahur dan buka tidak bisa dibilang sedikit. Padahal setelah puasa terhadap nafsu makan ada puasa terhadap nafsu keserakahan yang lebih besar: memilah mana yang hak dan mana yang bukan; memilah mana yang dibutuhkan dan mana yang sekadar diinginkan. Singkat madah, puasa adalah tirakat membendung gejolak dan rayuan konsumerisme (belbagai Bentuk) yang sebagaimana Thanos, inevitable (tak terelakkan). 

Kedua, dalam puasa kita mengenal konsep pembatalan pahala puasa. Yaitu sikap-sikap yang dianggap mencederai nilai-nilai puasa sehingga jika dilakukan pahala puasanya hilang dan/atau berkurang. Contohnya, berbohong, mengadu domba, ghibah, dan melihat sesuatu yang menimbulkan syahwat. Jika kita telaah, aturan-main ini sebetulnya adalah proses diklatsar untuk membangun komponen akhlak mulia di dalam diri kita sebagai pondasi ketakwaan tadi. 

Ambil contoh, puasa melatih integritas. Dalam integritas terkandung sikap jujur dan dapat dipercaya. Integritas adalah manifestasi akhlak ihsan yang diliputi kesadaran bahwa apapun yang kita lakukan dipantau oleh Allah sehingga setiap wewenang dijalankan dengan baik, setiap janji ditepati, setiap kata dijaga kejujurannya. Integritaslah yang menjadi tulang punggung dakwah Islam di era Nabi SAW dan para sahabat serta tabiin dan yang hari ini hilang di tengah-tengah jumlah Muslim yang seperti buih ombak di samudera Hindia. 

Konsep di atas menunjukkan belum tuntasnya misi Ramadhan, belum tercapainya tujuan puasa yang "telah diwajibkan atas kamu" ini. Mungkin karena puasa masih kita khidmati sebagai sebatas ritual (yang berat), atau karena kita terlena oleh sejumlah perayaan dan acara-acara pseudo-Islami trend terkini, atau karena kesadaran akan Ramadhan yang lenyap seiring perjuangan berat perjalanan kembali kerja sebagaimana para peserta diklatsar yang selain sertifikat, tidak mendapatkan apa-apa dari tiga hari dua malamnya di hotel berbintang dibiayai negara atau perusahaan. Tidak apa-apa, yang penting namabah pengalaman. Walau nyatanya mungkin pengalaman diluar esensi yang ada. 

Sebagai pungkasan, Perlu kita ketahui Satu-satunya ibadah yang dapat membentuk “keseimbangan” dan “keharmonisan” bagi dirinya sebagaimana disebut Al-Quran hanyalah puasa dengan pesan-Nya “la’allakum tattaquun” (agar menjadi insan yang bertakwa). 

Di sisi lain, ketika terus berupaya melampaui dimensi fisik kepuasaan seraya menghadirkan suasana batin dengan menghadirkan eksistensi dzikir kepada Tuhan, maka manusia sesungguhnya disadarkan akan “jalan pulang” kembali kepada-Nya. Tuhan adalah “asal” dan “tujuan hidup”—inna lillahi wa inna ilaihi raji’un—sehingga lupa kepada Tuhan sama halnya kita melupakan diri kita sendiri. Waallahua'lam. 

Pen: Muhamad Wildan Habibi

Share this:

2 komentar :

 
Copyright © 2014 PC IPNU IPPNU KAB. KEDIRI. Designed by Ragiel Boy's Group