Dok : @pacipnuippnupuncu
Beberapa hari yang lalu saya sempat melihat status whatsapp salah seorang teman. Ia heran karena keponakannya yang masih sekolah tingkat taman kanak-kanak tidak paham dengan pertanyaan yang ia berikan dalam bahasa Jawa. Sang keponakan tidak mengerti arti kata “endog” yang dalam bahasa Indonesia berarti “Telur”. Teman saya berkali-kali menanyakan “purun digorengne endog?” (mau digorengkan telur?) berkali-kali juga keponakannya geleng-geleng kepala. Lalu, teman saya kembali bertanya “purun digorengkne telur?” seketika keponakannya mengangguk-angguk. Ini adalah contoh kecil pergeseran penggunaan bahasa jawa dalam komunikasi sehari-hari dikalangan masyarakat Jawa.
Indonesia adalah negara majemuk yang terdiri dari berbagai macam suku atau etnik. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik melalui sensus penduduk yang terakhir dilakukan pada tahun 2010 menyebutkan ada 1.331 kelompok suku di Indonesia. Dari banyak suku inilah lahir berbagai macam kebudayaan yang berbeda-beda, mulai dari rumah adat, pakaian, tradisi, makanan, bahkan bahasa. Berdasarkan data Badan Pengembangan Pembinaan Bahasa Kementrian Pendidikan Kebudayaan tahun 2017 menyatakan indonesia memiliki 652 bahasa daerah. Jelas tidak mungkin jika 652 orang dari setiap suku berkumpul dalam satu tempat dan akan menggunakan bahasa daerah mereka masing-masing untuk berkomunikasi. Maka bahasa indonesia lahir sebagai bahasa pemersatu yang diangkat pada sumpah pemuda tanggal 28 oktober 1928.
Di era millennial ini, generasi muda terlihat bangga menggunakan bahasa Indonesia untuk berkomunikasi sehari-hari. Bahkan tak sedikit yang menggunakan bahasa asing seperti bahasa Inggris. Hal ini tidak salah, justru patut diacungi jempol karena kemampuan bahasa mereka yang mumpuni. Bersamaan dengan itu juga, kita melihat sedikit sekali anak muda yang masih menggunakan bahasa daerah untuk berkomunikasi. Hal ini perlu menjadi perhatian bagi semua, utamanya masyarakat, pendidik maupun pemerhati budaya. Pasalnya, kurangnya pengenalan bahasa daerah pada generasi muda dapat berakibat pada punahnya bahasa tersebut yang menjadi salah satu warisan budaya Indonesia. Tak terkecuali bahasa jawa.
Sekarang ini, penggunaan bahasa Jawa dalam keseharian hanya digunakan oleh orang-orang usia lanjut. Sementara anak muda lebih senang menggunakan bahasa Indonesia utamanya dalam komunikasi melalui media sosial, yang kebiasaan ini akan terbawa ketika berkomunikasi dengan tatap muka secara langsung. Mereka menganggap menggunakan bahasa jawa terkesan kuno dan tidak sesuai dengan masa kini. Sehingga lambat laun bahasa jawa yang merupakan bahasa pertama suku atau orang jawa mulai dilupakan.
Tidak jauh berbeda jika kita mengamati penggunaan bahasa di dunia pendidikan. Sejak anak memasuki sekolah PAUD (Pendidikan anak usia dini) bahasa yang akan disuguhkan oleh guru adalah bahasa Indonesia. Sekali lagi, ini tidak salah. Hal ini justru menjadi salah satu langkah untuk mengenalkan bahasa indonesia kepada anak sedari kecil. Tetapi intensitas penggunaanya lah yang tidak seimbang dengan bahasa jawa. Sehingga anak mulai terbiasa mengenal benda-benda di sekitar mereka dengan bahasa indonesia. Hal ini terus terbawa sampai ke rumah, orang tua yang mulanya menggunakan bahasa jawa ketika berkomunikasi dengan anak justru ikut bergeser mengikuti bahasa indonesia yang digunakan oleh anak mereka ketika di sekolah.
Kejadian yang sama terus berlanjut sampai di tingkat Sekolah Dasar. Karena banyak anak yang berkomunikasi menggunakan bahasa Indonesia, maka guru pun ikut menggunakan bahasa Indonesia dengan tujuan agar anak bisa memahami dengan baik apa yang disampaikan oleh guru. Jika menggunakan bahasa Jawa maka pembelajaran akan berlangsung lebih lambat dikarenakan ada anak yang pasti akan bertanya tentang arti dari kosakata yang diucapkan oleh guru yang mungkin terdengar asing bagi sang anak.
Sebenarnya, bahasa Jawa tetap dijadikan muatan lokal di Sekolah Dasar sampai Sekolah Menengah Pertama. Kendati demikian, sedikit sekali siswa yang tertarik untuk belajar bahasa Jawa dengan alasan sulit dipahami. Wajar saja jika mereka mengatakan demikian, karena memang hal ini tidak dibiasakan sejak kecil. Ditambah lagi dengan kapasitas guru pengampu bahasa Jawa yang tidak mumpuni. Semakin menjadikan bahasa Jawa tidak dilirik apalagi diminati. Hal ini tentu tidak bisa diabaikan begitu saja meskipun sedikit sekali orang yang menyadarinya. Jika tetap dibiarkan, bukan tidak mungkin bahasa Jawa yang mana memiliki tradisi sastra paling tua diantara bahasa Austronesia (bahasa kepulauan) akan hilang. Disinilah peran seluruh elemen masyarakat Jawa sangat dibutuhkan, terutama generasi muda yang nantinya akan menjadi penerus bagi keberlangsungan bahasa Jawa di masa depan. Kiranya perlu ada gerakan-gerakan untuk membangkitkan ketertarikan pada bahasa Jawa, utamanya dalam komunikasi sehari-hari. Contoh mudah adalah melalui lagu-lagu berbahasa Jawa Alm. Didi Kempot yang akhir-akhir ini booming, lagu-lagu tersebut bisa menjadi salah satu cara untuk kembali memperkenalkan bahasa Jawa di kalangan millenial. (Red; Horahotum)
Mantab
BalasHapus