BREAKING NEWS

Sabtu, 04 Juli 2020

Membangun Iklim Budaya Apresiasi


Bermula dari konsolidosa syariah yang rutin digelar oleh department jomlo, terceletuk obrolan santuy dari salah seorang eksponennya (sebut saja bang yahuud) yang menyinggung tentang pentingnya apresiasi. Dari situ penulis terangsang untuk sedikit corat-coret yang berkaitan dengan budaya apresiasi di lingkungan kehidupan kita. Tulisan ini hanya sekedar refleksi terkusus bagi penulis dan terlebih harapannya juga bisa bermanfaat bagi pembaca.

Oke, Langsung saja, sretttt...

Menurut KBBI, salah satu arti dari kata “mengapresiasi” adalah memberi penghargaan. Tapi sadarkah kita bahwa tindakan mengapresiasi itu tak sesederhana yang dituliskan dalam KBBI? Bahkan bagi sebagian orang, mempercayai apresiasi hal yang sederhana itu bagaikan mempercayai kembali kehidupan dinasaurus di abad 21 M ini. Hihi

Memberi apresiasi berkaitan erat dengan memberi penilaian positif pada sesuatu atau seseorang. Ya, tentu saja, bagaimana bisa memberikan penghargaan jika kita tak bisa melihat sesuatu yang positif dari objek penghargaan itu. Masalahnya, seberapa bisa kita memberi penilaian positif pada sesuatu atau seseorang? Oke, saya batasi ocehan ini pada lingkup manusia. Kalau orang itu memang baik, benar, normal, “lurus”, berprestasi, bisa diajak kerja sama, bisa memperbaiki situasi, taat prosedur, dan dalam kondisi yang serba baik, pasti mudah mengapresiasinya. Segala pujian pasti diberikan dengan bertubi-tubi padanya. Tapi bagaimana jika sebaliknya? Bagaimana jika orang itu bikin kita ngga sreg, kerjaannya gak mencapai target, attitudenya minus, bahkan ngga bisa diajak kerja sama. Masih bisakah kita memberikan apresiasi baginya? Mungkin bisa. Tapi kemungkinan besar hanya lip service atau hanya sekedar basa-basi saja.

Biar lebih loss doll (istilah madzhab ala caknan) dalam mencerna tema ini akan coba penulis ilustrasikan seperti sebuah pelatihan. Sebut saja Ndan Sanoel sebagai trainernya. Pemilik rambut gondrong nan eksotis itu menuliskan sejumlah soal matematika. Soalnya tidak rumit. Bahkan terlalu mudah dan sederhana. Dengan sengaja, Ndan Sanoel menuliskan satu jawaban salah, sementara jawaban lainnya benar. Saat tiba di jawaban yang salah, peserta pelatihan memprotes Ndan Sanoel. Para peserta riuh memprotes jawaban terakhir yang salah itu. Kemudian ndan sanoel seraya tersenyum manis melebihi manisnya madu (konon katanya, sekali sengum bisa meng-gogrok-kan hati rekanita yang melihatnya) dan mengatakan bahwa jawaban soal terakhir memang disengaja salah. Kata Ndan Sanoel, kenapa kalian hanya fokus pada satu jawaban yang salah saja, dan tidak mengapresiasi atas jawaban  yang benar? Seketika membungkam seluruh peserta.

Dalam keseharian, mungkin ilustrasi yang diperankan Ndan Sanoel ini sering kita alami. Baik kita sebagai subjek atau sebagai objeknya. Begitu pula dalam aktivitas pekerjaan, organisasi, dan lainnya. Demikianlah hakikat kehidupan kita. Kita lebih mudah menemukan dan bereaksi terhadap kesalahan orang. Juga, kita lebih mudah membesar-besarkan kesalahan orang lain ketimbang kebaikan-kebaikannya. Pendekatan seperti ini akan mengecilkan hati, bahkan yang dikritik menjadi cenderung defensif dan reaktif.

Lalu pertanyaan lugunya, bagaimana supaya bisa menjadi orang yang mudah mengapresiasi orang lain?

Muhibbin jomlo prestis rohimakumullah,
kuncinya adalah usahakan selalu pakai heart sanitizer. Apaan tuh?Jika pemakain hand sanitizer digunakan untuk membersihkan  bakteri atau virus dikulit, penggunaan heart sanitizer juga bisa membersihkan dari virus-virus yang menempel di hati seperti virus kebencian dan buruk sangka misalnya. Hal tersebut berimplikasi pada cara pandang seseorang yang akan lebih didominasi dari sisi negetifnya. Kabar buruknya, seperti halnya Virus Corona, orang yang terjangkit virus kebencian dan buruk sangka dapat menular dan menyebar ke mana-mana. Bisa jadi lebih dahsyat penyebarannya. Bukan hanya di dunia nyata bahkan di dunia maya sekalipun. Bisa juga sampai ke dunia lain. Kabar baiknya, Sampai saat ini untuk Virus Corona belum ditemukan penyebarannya melalui dunia maya atau adanya hantu yang terjangkit misalnya. Belum ada beritanya. oke stop bahas covid gaes...

Lanjut, bentuk manifest dari penggunaan heart sanitizer adalah dengan memulai membiasakan diri untuk melihat segala sesuatunya dari sisi yang positif. Misalnya saja, teman atau anggota tim sudah bekerja keras tapi kinerjanya belum bagus, maka sisi positifnya dulu diapresiasi baru kemudian hasilnya dievaluasi. Atau bisa juga kita mulai dari suatu hal kecil nan sederhana misalnya, dengan sekedar menanggap dengan ucapan “josss” “mantabbb” “wah keren" atau bahkan hanya sekedar emoticon di postingan teman yang ada dalam grup WA atau langsung dengan ucapan “terima kasih rekan,” sambil nepuk bahu atau salaman boleh juga dibumbui senyuman, hal terseubut akan sangat berarti bagi si penerima.

Dengan hati yang bersih, sikap yang fair, sportif dan gentle mengakui prestasi orang lain tidak akan menurunkan harga diri, tetapi akan menunjukkan sebagai pribadi yang dewasa. Berani mengapresiasi orang lain dalam segala hal, akan membuat hati menjadi sehat, karena terhindar dari sifat iri dan dengki.

Rekan-rekanita, Mari jangan berhenti untuk tetap mengapreasiasi orang atas pekerjaan dan usahanya, bukan sekedar hasil, tapi juga proses yang mungkin dia lalui dengan susah payah. Berapa banyak kita kehilangan kawan kerja, organisasi dan sahabat karena kita less-apresiatif padanya? Refleksi sendiri sangat diperlukan. Dan saya percaya, apa yang kalian tebar itu yang kalian tuai. Kalau selalu berkata positif, mengapreasi orang, suatu saat akan datang pada kita orang yang membangkitkan semangat kita. Kebiasaan ini mengajarkan kita untuk jadi sosok yang lebih rendah hati, mengesampingkan ego, menahan emosi, selalu berpikir positif, dan jadi pribadi yang lebih menyenangkan. Semoga kita ditakdirkan menjadi pribadi yang selalu diselimuti rasa syukur dan kebahagiaan, amiin.

Penulis: Muwilhab
Editor: Anifa

Share this:

6 komentar :

 
Copyright © 2014 PC IPNU IPPNU KAB. KEDIRI. Designed by Ragiel Boy's Group