BREAKING NEWS

Kamis, 03 September 2020

Tahun Baru Jawa di Pelosok Kediri Timur


Budaya adalah suatu cara hidup yang berkembang dan dimiliki bersama oleh sebuah kelompok orang serta diwariskan dari generasi ke generasi. Budaya terbentuk dari banyak unsur yang rumit, termasuk sistem agama dan politik, adat istiadat, bahasa, perkakas, pakaian, bangunan, dan karya seni. Budaya erat kaitannya dengan tradisi. Bicara tentang tradisi, di kecamatan Kandangan sendiri banyak sekali tradisi yang pelaksanaannya masih rutin dilakukan sampai sekarang. Desa Banaran salah satunya. Desa yang terdiri dari dua dusun dan tiga agama yang mana mayoritas selalu melakukan upacara menjelang 1 Muharram atau yang biasa disebut upacara malam satu suro. Muharram sendiri adalah nama bulan pertama di kalender hijriah sedangkan suro adalah bahasa jawanya.

Tradisi malam satu Suro bermula saat zaman Sultan Agung sekitar tahun 1613-1645. Saat itu, masyarakat banyak mengikuti sistem penanggalan tahun Saka yang diwarisi dari tradisi Hindu. Hal ini sangat bertentangan dengan masa Sultan Agung yang menggunakan sistem kalender Hijriah yang diajarkan dalam Islam. Sultan Agung kemudian berinisiatif untuk memperluas ajaran Islam di tanah Jawa dengan menggunakan metode perpaduan antara tradisi Jawa dan Islam. Sebagai dampak perpaduan tradisi Jawa dan Islam, dipilihlah tanggal 1 Muharam yang kemudian ditetapkan sebagai tahun baru Jawa. Hingga saat ini, setiap tahunnya tradisi malam satu Suro selalu diadakan oleh masyarakat Jawa salah satu nya juga di lakukan di Desa Banaran ini.

Di Desa Banaran sendiri, perayaan malam satu Suro tersebut dilakukan dengan  upacara penyembelihan boneka yang tujuannya ini kembali waktu zaman pembabatan desa dan waktu itu sangat membutuhkan tumbal bayi laki-laki dan perempuan tiap tahunnya. Selanjutnya perayaan arak-arakan para setan biasanya di sebut dengan kata Ogoh-Ogoh. Ogoh-ogoh sendiri berarti setan. Maka dalam hal ini setan yang di arak biasanya berbentuk semacam raksasa yang menakutkan. Upacara ini dilakukan di tengah-tengah perempatan Kandangan, setelah sebelumnya diarak dari desa Banaran. Mengenai pendapat dari salah satu tokoh masyarakat bahwasanya tradisi ini di lakukan dengan maksud agar masyarakat terbebas dari kekejaman para setan/ogoh-ogoh yang akan mencari tumbal ketika malam satu suro. Ada syair yang di ucapkan sebelum acara penyembelihan dimulai, salah atu liriknya berbunyi "Bau kemenyan mulai memenuhi sekitar Tugu. Dandang Kinanti ditabuh, ting...." .orang-orang yang melakukan upacara itu juga bukan sembarangan, mereka dipilih khusus. Pada saat upacara berlangsung orang-orang tersebut akan berpakaian adat Jawa sambil mengarak ogoh-ogoh dan melantuankan syair-syair. Syair ini sebenarnya berisi doa yang dipanjatkan pada Tuhan yang maha Tunggal.

Perayaan malam satu Suro juga selalu identik dengan membawa keris dan benda pusaka sebagai bagian dari iring-iringan kirab dan ritual tapa bisu mubeng benteng, Menurut penjelasan dari “pecalang” pemimpin  adat sekitar, tradisi malam satu Suro ini menitik beratkan pada ketentraman batin dan keselamatan. Karenanya, pada malam satu Suro biasanya selalu diselingi dengan ritual pembacaan doa dari semua umat yang hadir merayakannya. Hal ini bertujuan untuk mendapatkan berkah dan menangkal datangnya marabahaya. Selain itu, sepanjang bulan Suro masyarakat Jawa juga meyakini untuk terus bersikap eling (ingat) dan waspada. Eling disini memiliki arti manusia harus tetap ingat siapa dirinya dan dimana kedudukannya sebagai ciptaan Tuhan. Sementara, waspada berarti manusia juga harus terjaga dan waspada dari godaan yang menyesatkan. Red; Siti Swaibatun N

Share this:

1 komentar :

 
Copyright © 2014 PC IPNU IPPNU KAB. KEDIRI. Designed by Ragiel Boy's Group