Perkembangan
zaman
dan masuknya budaya luar dalam arus globalisasi membuat masyarakat lebih akrab
dengan budaya dari luar negeri. Hal ini juga berlaku pada budaya berpakaian[kartikala1] masyarakat yang mengikuti gaya berpakaian
dari negara lain.[kartikala2] Padahal, Indonesia juga
memiliki budaya berpakaiannya sendiri yang merupakan tradisi turun temurun. Ada banyak jenis
busana produk budaya Indonesia yang mulai ditinggalkan, salah satunya adalah budaya
mengenakan sarung.
Sarung bagi masyarakat Nusantara mungkin bukan suatu hal yang asing lagi,
mengingat pakaian tersebut sudah mendarah daging mengiringi perjuangan para
pendahulu bangsa ini.
Sarung
sebenarnya bukan produk asliIndonesia. Pakaian ini berasal dari Yaman.Disana, sarung dikenal dengan istilah "futah" yang
mana mewakilkan sebuah kain yang dicelup kedalam pewarna hitam (Ensiklopedia
Britanica). Kain tersebut
dulunya dibawa dan diperdagangkan oleh para saudagar dari Arab dan Gujarat sehingga tersebar ke seluruh daerah yang ada di Indonesia.
Sampai saat ini, sarung masih tetap digunakan
oleh masyarakat modern Indonesia, baik sebagai pakaian harian, pakaian resmi maupun
pakaian ibadah.
Meski
bukan berasal dari Indonesia, tetapi kita tetap bisa menerima dan bangga
menjadikannya bagian dari budaya negeri sendiri. Bahkan,
di berbagai daerah yang ada di
Indonesia terdapat industri kerajinan sarung yang menjadi ciri khas masing-masing
daerah. Kita dapat berpartisipasi
dengan mengenakannya dan merasa bangga karena ini adalah budaya kita dan masih dilestarikan sampai saat ini.
Dalam
kebudayaan Indonesia, sarung sangat erat kaitannya dengan para santri. Sarung
juga digunakan sebagai alat perlawanan terhadap kolonialisme Belanda. Ketua
Lembaga Seni Budaya Muslimin Indonesia Nahdlatul Ulama Agus Sunyoto mengatakan: "kalau dihitung dari tahun 1800
sampai awal abad ke-20, setidaknya ada 112 perlawanan dari kalangan pesantren
yang dipimpin kiai dan pemimpin tarekat Islam."
Kaum
santri memilih menggunakan sarung untuk busana
sehari-hari karena tidak ingin meniru gaya berpakaian
Belanda yang lebih cenderung mengenakan celana dan
kemeja. Puncak perlawanan ini terjadi ketika peringatan Muktamar NU ke-2 pada
1927 di Surabaya. Disana para ulama mengeluarkan fatwa yang
disebut tasabbuh atau adopsi
berdasarkan sebuah hadis Nabi yang menyebutkan bahwa:
"barang siapa meniru perilaku suatu kaum maka ia termasuk
pada golongan itu."
Pada saat ini, sarung adalah pakaian
yang melambangkan perlawanan terhadap masuknya budaya baru yang cenderung
kurang cocok dengan budaya Indonesia.
Banyak budaya pakaian dari negara Barat
yang masuk ke Indonesia merupakan pakaian yang relatif terbuka. Sebagaimana yang disampaikan
Marwan, budaya lokal perlu memperkuat daya tahannya dalam
menghadapi globalisasi budaya asing. Ketidakberdayaan dalam menghadapinya sama
sajadengan membiarkan pelenyapan atas sumber identitas lokal yang diawali
dengankrisis identitas lokal(strategi
mempertahankan budaya lokal dari hegemoni budaya asing, 2017).
Sarung penting untuk
dilestarikan. Jangan sampai tergeser oleh pakaian keagamaan dari budaya timur
tengah seperti gamis atau jubah dan bahkan celana cingkrang yang akhir-akhir
ini mulai banyak dipakai oleh generasi Islam.Sebenarnya tidak ada yang buruk
dari pakaian-pakaian tersebut. Semua itu hanya pakaian, simbol dan ornamen lahir manusia. Yang lebih
penting dari itu adalah pemaknaannya.
Namun
demikian, kain sarung juga bukan sesuatu hal yang buruk lantas dijadikan bid'ah karena Rasulullah SAW tidak pernah memakai
sarung.Kita hanya menjaga kekayaan tradisi yang memberikan nilai khas
tersendiri. Supaya identitas kita sebagai bangsa Indonesia yang menandakan Islam Nusantara tidak luntur
begitu saja.
Sarung dan Islam Nusantara
adalah satu kesatuan yang saling melengkapi. Merekamenyiarkan
keislaman yang menghargai tradisi dan ramah bak karakteristik orang desa.Seperti
kata Gus Dur bahwa: "Islam
datang ke Indonesia bukan untuk mengubah budaya leluhur kita jadi budaya Arab.Bukan
untuk “aku” jadi “ana”, ‘sampeyan’ jadi “antum”, “sedulur” jadi “akhi”. Kita
pertahankan milik kita, kita harus serap ajarannya, tapi bukan budaya Arabnya."
Safril Mubah(2001) dalam bukuStrategi Meningkatkan Daya Tahan Budaya Lokal menjelaskan bahwadi era kontemporer ini, ujian terbesar yang dihadapi budaya lokal adalah
mempertahankan eksistensinya di tengah terpaan globalisasi. Strategi-strategi
yang jitu dalam menguatkan daya tahan budaya lokal juga perludirumuskan.
Presiden
Republik Indonesia Joko Widodo turut berperan dalam promosi penggunaan sarung. Melalui
beliau, kita bisa melihat bahwa sarung bukan pakaian kelas bawah, tetapi
merupakan budaya yang harus kita lestarikan. Sering tertangkap kamera
beberapa kali beliau menggunakan sarung dikala
santai di rumah, ketika melakukan sidak ke beberapa daerah di Indonesia, hingga
ketika menyambut tamu kenegaraan dan acara-acara kenegaraan lainnya. Misi
khusus yang dibawa Presiden RI Joko Widodo ini adalah mendongkrak kembali
eksistensi sarung untuk meningkatkan permintaan di pasar yang akan berpengaruh
pada eksisnya industri sarung yang sempat melemah.(Detiknews.com,
Minggu 08 Oktober 2017) Banyak dari masyarakat modern yang enggan
menggunakannya karena dianggap kuno dan tidak fashionable. Padahal hanya
butuh sedikit kreativitas dalam mengenakannyaagartetap terlihat elegan tanpa meninggalkan nilai
kearifan lokal itu sendiri.
Perlu
ada kesadaran dari dalam diri masyarakat bahwa kebiasaan ini harus selalu
dilakukan dan dipertahankan. Hal ini tidak lain untuk melindungi sarung sebagai
bagian dari budaya bangsa Indonesia secara keseluruhan. Lantas jangan hanya
berhenti pada diri kita, lanjutkan dengan mendidik anak
cucu kita membudayakan hal yang sama.
(Oleh:
M.Wildan Habibi)
Sangat bagus mas😊😊
BalasHapusVery very TOP 👍👍😊
BalasHapus